Berbicara tentang matematika, Jepang punya tradisi sendiri yang tidak
terpengaruh perkembangan matematika di Arab atau pun Barat.
Maka ketika dunia Arab melahirkan Musa al-Khawarizmi, lalu munculnya ilmuwan di negeri Barat Sir Isaac Newton, Gottfried Wilhelm Leibniz, dan lainnya sekitar abad ke-17, Jepang punya cara sendiri menjawab pertanyaan kompleks tentang geometri.
Maka ketika dunia Arab melahirkan Musa al-Khawarizmi, lalu munculnya ilmuwan di negeri Barat Sir Isaac Newton, Gottfried Wilhelm Leibniz, dan lainnya sekitar abad ke-17, Jepang punya cara sendiri menjawab pertanyaan kompleks tentang geometri.
Sebagai bangsa yang dikenal religius, matematika Jepang menjadi karya
seni berupa tablet kayu berukir yang disebut Sangaku dan jadi penghias
dinding kuil Shinto atau Buddha. Banyak dipakai sebagai persembahan
untuk dewa di zaman Edo, awal abad ke-17 sampai tahun 1857.
"Tablet Sangaku mungkin yang paling unik di antara kreasi budaya dunia. Ia sekaligus adalah obyek seni, persembahan reliji, dan catatan yang bisa kita sebut sebagai matematikanya rakyat," kata Tony Rothman dari University of Princenton.
Dia menambahkan Sangaku adalah peninggalan budaya yang layak dipertahankan dan dilindungi. "Ini mungkin hanya teka-teki silang versi Jepang era feodal, namun fungsinya menjaga pikiran mereka tetap tajam."
Tujuan dari sangaku ada tiga: memamerkan prestasi matematika, rasa
syukur kepada Buddha dan Dewa, dan persembahan agar mereka dianugerahi
pengetahuan matematika yang lebih."Tablet Sangaku mungkin yang paling unik di antara kreasi budaya dunia. Ia sekaligus adalah obyek seni, persembahan reliji, dan catatan yang bisa kita sebut sebagai matematikanya rakyat," kata Tony Rothman dari University of Princenton.
Dia menambahkan Sangaku adalah peninggalan budaya yang layak dipertahankan dan dilindungi. "Ini mungkin hanya teka-teki silang versi Jepang era feodal, namun fungsinya menjaga pikiran mereka tetap tajam."
Terlupakan dan Pelestarian
Saat Jepang mulai membuka diri, Sangaku nyaris terlupakan. Bahkan, Fukugawa, guru SMA di Jepang bergelar doktor dalam bidang matematika mengaku, dulu ia menyangka mempelajari tablet kuno sangaku adalah hal yang sia-sia.
"Sampai suatu ketika rekanku, seorang sejarawan meminta bantuan menerjemahkan sebuah buku tentang subyek itu. Barulah aku menyadari matematikawan Edo telah menuntaskan problem sulit tanpa alat bantu yang kita miliki saat ini,"kata dia. "Sejak itu aku jatuh cinta pada sangaku." Dia ingin mempertahankannya eksistensi peninggalan leluhurnya itu.
Kakek 63 tahun tersebut membantu penelitian Rothman. Meski keduanya saling terpisah ribuan kilometer dan tak pernah bertatap muka langsung. Untung, bahasa matematika adalah universal.
Selain terlibat penelitian, Fukugawa mengaku, selalu mencari cara mengajarkan sangaku pada murid-muridnya. Namun harus hati-hati agar tak justru menimbulkan masalah matematika baru. Sebab, "harus diingat bahwa Sangaku diciptakan dan ditampilkan terutama untuk kesenangan."
Seperti halnya sejumlah orang di masa itu yang hobi membuat puisi Jepang atau haiku dan kesenian lain. "Ada beberapa orang menikmati matematika, dan melihat sesuatu yang indah di dalamnya."
Matematika sudah mengakar, menjadi tradisi di Negeri Sakura. Maka tak mengherankan bahwa sudoku yang dimainkan orang saat ini, pertama kali populer di Jepang, sebelum menyebar menyeberangi lautan ke seluruh dunia
artikel ini di copy dari : Sangaku, Menghitung Matematika Tradisi Jepang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung, Silahkan Tinggalkan Komentar Anda...